TUHAN SUDAH MATI: Sebuah Telaah Pemikiran Nietzsche Mengenai Eksistensi Tuhan

0
  1. 1.      Pengantar

Revolusi industri di Inggris dan kemudian revolusi Prancis menumbuhkan cara pandang baru manusia tentang Tuhan, dunia, manusia sendiri maupun semua yang berkaitan dengan dirinya sendiri. Filsafat juga hadir secara baru. Descartes mendahului dengan cogito ergo sum-nya yang kemudian memunculkan filsafat modern. Setelah Descartes, muncul lagi seorang nabi di dunia filsafat yang meramalkan runtuhnya hegemoni kekristenan di Eropa. Dialah Friedrich Wilhelm Nietzsche.

Friedrich Wilhelm Nietzsche menjadi tokoh utama munculnya pembaruan dari filsafat modern menuju filsafat post-modern. Sumbangannya di dunia filsafat tidak perlu diragukan lagi. Mungkin, tidak ada filsuf yang lebih terkenal daripada Nietzsche. Pemikirannya yang radikal dan kontroversial  manjadi perbincangan hangat yang tidak ada habisnya.

Salah satu pemikirannya yang mengubah cara pandang para pemikir filsafat adalah konsep Tuhan sudah mati. Pemikiran tersebut merupakan hal yang baru karena menjadi pendobrak konsep lama yang didominasi oleh cara berpikir Kristen. Para ahli menyebut Nietzsche sebagai seorang penganut nihilisme. Nihilisme merupakan pendirian atau paham yang berporos pada ‘tiada apa-apa pun’.[1] Seperti kaum nihilis yang lain, Nietzsche berpandangan bahwa diperlukan adanya sebuah “kehancuran” total untuk suatu perbaikan.

  1. 2.      Latar Belakang pemikiran Nietzsche

Friedrich Wilhelm Nietzsche lahir di Rocken, wilayah Sachsen pada tanggal 15 Oktober 1844. Dia lahir dari sebuah keluarga Protestan Lutheran yang saleh.  Ayahnya adalah seorang pendeta Lutheran yang meninggal pada saat dia berumur 5 tahun. Dan dia sendiri diproyeksikan mengikuti jejak ayah, paman dan kakeknya untuk menjadi pendeta.

Pada tahun 1854, Nietzsche masuk Gymnasium di kota Naumburg, namun empat tahun kmudian ibunya memintanya belajar di sebuah sekolah asrama Lutheran di kota Pforta. Di sanalah dia membaca karya banyak sastrawan dan pemikir besar. Selain itu dia juga tertarik dengan kebudayaan Yunani Kuno.

Dia meneruskan studinya di Universitas Bonn pada tahun 1864 bersama teman-temannya dari Pforta. Tahun 1965, dia belajar filologi di Leipzig. Studinya tersebut kemudian terputus ketika pada tahun 1867, dia diminta untuk menunaikan wajib militer. Lalu, karena jatuh dari kudanya dan terluka, dia kembali lagi ke Leipzig dan belajar lagi. Pada inilah dia berteman dengan Richard Wagner, komponis Jerman yang nantinya akan berpengaruh banyak pada kehidupan Nietzsche. Persahabatan itulah yang kemudian berpengaruh pada periode pertama riwayat intelektualnya. Pada periode itu, bersama temannya dia berkutat pada pemikiran mengenai kelahiran kembali seni Yunani Kuno.

Sekitar tahun 1869, dia menjadi dosen di Universitas Basel. Waktu itu usianya baru 24 tahun dan belum meraih gelar doktor. Dia memilih untuk menjadi seorang ateis. Di masa itu jugalah hubungan dengan Wagner semakin memburuk. Dia merasa diperalat demi kemahsyuran Wagner.[2] Terlebih karena Wagner kemudian menjadi Kristen. Kemudian dimulailah periode intelektual Nietzsche yang kedua. Periode ini menghasilkan beberapa karya.

Yang disebut periode ketiga adalah di mana ketika Nietzsche menemukan kemandiriannya dalam berfilsafat. Selama periode inilah, dia sakit-sakitan dan kesepian. Dia mengalami ketegangan mental. Nietzsche terobsesi untuk selalu menyanjung dirinya. Pada bulan Januari 1889, Nietzsche menjadi gila. Dia banyak mengaku sebagai orang-orang terkenal dari Ferdinand De Lesseps, arsitek terusan Suez, sampai bahkan mengaku sebagai “yang tersalib”. Dia meninggal dunia di dalam kesepiannya di Weimar pada tanggal 25 Agustus 1900 karena Pneumonia.

  1. 3.      Nietzsche Sang Pembunuh Tuhan

Nietzsche adalah filsuf unik yang berpikir secara unik dan menyampaikannya secara unik pula. Keunikannyalah yang membuat dia menjadi begitu istimewa bagi dunia filsafat. Pemikirannya tak pernah dapat dilepaskan dari latar belakang kehidupannya. Bahkan, tanpa ragu-ragu dia banyak bercerita tentang kehidupannya di dalam tulisannya. Selain itu, cara penyampaian filsafatnya yang menggunakan teknik sastra menjadi hal yang baru di dalam dunia filsafat yang selama ini selalu memakai obyektivitas dan kebakuann bahasa sebagai hal yang utama. Bagi Nietzsche kebenaran yang bersifat jamak hanya bisa tersampaikan lewat sastra. Artinya, penafsiran akan suatu kebenaran akan selalu plural tidak pernah tunggal.

pemikiran Nietzsche mengenai kematian Tuhan sendiri terdapat pada sebagian karya-karyanya. Salah satu tulisannya yang terkenal mengenai hal itu terdapat pada bukunya, the  gay science (ilmu kebahagiaan). Di dalam ceritanya, seseorang yang gila datang ke sebuah kerumunan dan berteriak-teriak mengenai kematian Tuhan.

Tidakkah kamu telah mendengar seorang gila yang menyalakan lentera di pagi hari yang cerah, berlari menuju tempat kerumunan, dan terus-menerus berteriak: “ Aku mencari Tuhan! Aku mencari Tuhan!” – Ketika banyak orang yang tidak percaya pada Tuhan berdiri di sekelilingnya kemudian, dia mengundang gelak tawa. Apakah dia orang yang hilang? Tanya seseorang. Apakah dia telah tersesat seperti anak kecil? Tanya yang lainnya. Atau dia sedang bersembunyi? Apakah dia takut pada kita? Apakah dia orang yang baru saja mengadakan pelayaran? Seorang perantau? — Maka mereka saling bertanya sinis dan tertawa.

            Orang gila itu melompat ke tengah kerumunan dan menatap mereka dengan mata tajam. “Ke mana Tuhan?” dia berteriak: “Aku akan menceritakan pada kalian, Kita telah MembunhNya — Kalian dan aku. Kita semua adalah pembunuhnya… Tuhan sudah mati. Tuhan terus mati…”

            … “aku telah datang terlalu awal.” Dia kemudian mengatakan: “waktuku belum datang. Peristiwa besar ini masuh terus berjalan, masih berkeliaran; ini belum mencapai telinga-teling manusia…”

            Telah diceritakan lebih lanjut pada hari yang sama orang gila itu memaksa masuk ke dalam beberapa gereja dan di sana menyanyikan requiem aeternam Deo….[3]

Amat penting untuk disampaikan di sini tentang pemikiran dasar Nietzsche mengenai Tuhan. Nietzsche memahami Tuhan seperti mimpi. Ketika kita tidur dan bermimpi, kita seperti berada di dalam dunia nyata yang ternyata hanya mimpi. Seperti demikianlah mengenai Tuhan. Manusia tidak mampu membedakan antara kenyataan yang sebenarnya dengan kenyataan yang hanya merupakan bayang-bayang. Jika dicoba untuk mengartikannya, Nietzsche menganggap Tuhan hanya proyeksi dari keterbatasan manusia yang merindukan sebuah kekuatan yang tidak terbatas.

3.1.Arti Kematian Tuhan

Tuhan sudah mati, demikian ungkapan Nietzsche yang terkenal. Dengan diberikannya konsep “mati” di dalam Tuhan, Nietzsche ingin mengatakan bahwa keberadaan Tuhan tergantung pada sintetis.[4] Tuhan menjadi argumen yang dapat dipertanggungjawabkan hanya terkait dengan waktu, menjadi, sejarah, dan manusia. Oleh sebab itulah, Nietzsche memberikan konsep kematian di dalam argumennya tentang Tuhan.

Dengan kematian Tuhan, Nietzsche kemudian mengajukan konsep kelahiran Tuhan baru. Jika Tuhan mati, manusialah yang menjadi Tuhan. Yesus adalah kurban yang harus mati di kayu salib. Kematian yang kemudian disamarkan menjadi sebuah kepercayaan saleh akan cinta Tuhan. Tuhan mengorbankan Yesus demi terbebas dari diriNya sendiri dan orang Yahudi. Tuhan perlu membunuh putraNya untuk terbebas dari diriNya sendiri dan lahir kembali menjadi Tuhan baru yang universal. Demikianlah arti kematian Tuhan yang pertama.[5]

Yang kedua, kesadaran Yahudi  menginginkan Tuhan yang lebih universal. Dengan matinya Tuhan di kayu salib, Tuhan tidak tampak lagi keyahudiannya. Yahudi lebih memilih menciptakan Tuhan yang penuh kasih dan rela menderita karena kebencian. Dengan nilai kasih yang lebih universal, Tuhan Yahudi telah menjadi Tuhan universal. Tuhan yang lama mati dan Putera menciptakan Tuhan baru bagi kita yang penuh kasih.[6]

Arti ketiga dari kematian Tuhan berkaitan dengan agama Kristiani. Nietzsche mengartikan lain teologi St. Paulus. Teologi Paulus yang banyak dijadikan dasar ajaran kristiani adalah pemalsuan besar-besaran. Dikatakan demikian karena Kematian Putera adalah untuk membayar hutang Tuhan. Nietzsche melihat terlalu besar hutangNya. Tetapi kemudian, Tuhan mengorbankan PuteraNya bukan lagi untuk membebaskan diriNya melainkan demi manusia. Tuhan mengirimkan PuteraNya untuk mati karena cinta, kita menanggapinya dengan perasaan bersalah, bersalah atas kematian tersebut dan menebusnya dengan menyalahkan diri sendiri. [7] Demikianlah kemudian Nietzsche menyebut kita semua sebagai pembunuh Tuhan dengan semua kedosaan kita.

Inilah moralitas budak yang dikritik Nietzsche. Budak bertindak bukan atas dasar dirinya sendiri melainkan ketakutan akan tuannya.[8] Tindakannya selalu didasarkan pada perintah tuannya. Bertindak sendiri akan menyangkal kodratnya dan dianggap sebagai kesalahan.[9] Berbeda dengan moralitas budak, moralitas tuan merupakan sikap yang sebaliknya. Moralitas tuan tidak mewujudkan apa yang seharusnya dilakukan tetapi apa yang senyatanya dilakukan.[10] Moralitas tuan menghargai dirinya sendiri. Mereka selalu yakin, perbuatannya baik.[11]

3.2.Ubermensch dan Moralitas Tuan-Budak

Dengan tidak adanya kehadiran Tuhan di dalam hidup kita. Nietzsche menginginkan kita hidup bukan sebagai budak yang takut akan tuannya melainkan menjadi tuan itu sendiri. Untuk kesempurnannya, Nietzsche memakai istilah Ubermensch. Ubermensch di sini tidak dimaksudkan sama dengan superman yang berkonotasi stagnan melainkan memakai istilah overman, yang berkelanjutan dan di dalam proses menjadi. Ubermensch adalah istilah yang terdapat di dalam buku Also Sprach Zarathustra. Di dalam Bahasa Indonesia, mengikuti istilah yang dipakai oleh Budi Hardiman, Ubermensch diartikan dengan kata “manusia atas”.[12]

Manusia atas adalah manusia yang unggul yang lebih dari manusia lainnnya. Bagi Nietzsche, kebudayaan yang baik adalah kebudayaan yang membuat manusia-manusianya maju dan menjadi unggul. Sedangkan kebudayaan yang menganjurkan sikap durschnittlich (tengah-tangah/rata-rata) hanya akan menghilangkan bakat-bakat individu dan menjadikannya kawanan.[13] Manusia atas adalah suatu proses terus menerus dan belum pernah ada yang bisa mencapainya.

Kawanan ini adalah kerumunan massa. Mereka adalah sarana untuk mencapai tujuan bukan tujuan itu sendiri. Manusia adalah sarana untuk mencapai manusia atas[14]. Perubahan kepada manusia atas harus didahului oleh sikap manusia yang kritis dan mengadakan transvaluasi, penjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada sampai akhirnya manusia itu mampu menentukan nilai-nilainya sendiri.[15] Manusia atas selalu mengakui dirinya sendiri sebagai der Wille-zur-Macht dan tidak menutupinya dengan kedok.[16]

3.3.Kehendak Berkuasa

Manusia atas selalu berhubungan dengan suatu tujuan-tujuan; kehendak untuk berkuasa (Will to power).[17] Kehendak berkuasa adalah hakekat segala sesuatu, termasuk di dalam pengetahuan. Bukan saja manusia atas, melainkan juga semua manusia. Akan tetapi tujuan manusia atas tidak pernah mengacu pada hal lain selain dirinya sendiri. Kehendak berkuasa harus secara tegas melampaui manusia. Pemikiran ini adalah cara bagi Nietzsche untuk menyingkirkan moralitas dan menggantinya dengan konsep Ubermensch di mana manusia atas selalu bertindak murni dari dirinya sendiri.[18]

Sekilas tampak bahwa manusia atas adalah manusia egois yang mengabaikan manusia lain. Tetapi Nietzsche tidak sependapat. Menurut Nietzsche, manusia atas tidak pernah mendominasi yang lain atau mengorbankan yang lain secara biologis maupun politis.[19] Nietzsche menyebut hasrat kekuasaan yang salah sebagai “setan kekuasaan” atau “ hasrat fanatis akan kekuasaan.”[20]

Pengertian yang ditekankan Nietzsche dari kehendak berkuasa adalah lebih merupakan suatu kualitas kehendak. Hal itu adalah suatu kedalaman eksistensial demi mentransendenkan diri sendiri. Manusia harus berusaha habis-habisan mencapai tujuannya.[21] Dan itu tidak menggunakan insting tetapi dengan penguasaan diri yang penuh.[22]

 

  1. Kritik terhadap Nietzsche

Filsafat Nietzsche tidak lepas dari keadaan zamannya. Kebencian Nietszsche akan agama muncul  setelah melihat kenyataan bahwa agama waktu itu hanya sebagai pelarian kita dari masalah yang ada di dunia nyata. Bisa dilihat di sini bahwa Nietzsche mengabaikan aspek yang lain dan tidak seimbang di dalam memahami agama yang benar. Sepertinya, kebencian telah terlalu banyak berpengaruh pada teorinya.

Tuhan yang “dibunuh” Nietzsche lebih mirip Tuhan psikologi. Dia sama sekali tidak menyentuh eksistensi Tuhan. Dia hanya melihat Tuhan dari konsep manusia tanpa mampu menerobos batas transendensi Tuhan. Hal ini dapat dimengerti karena Nietzsche telah melanggar batas disiplin ilmunya. Dia tidak membedakan antara Tuhan psikologis dengan Tuhan yang filosofis.

Ubermensch yang diungkapkan oleh Nietzsche tampak sebagai sesuatu yang utopis belaka karena dia sendiri mengakui belum ada manusia yang bisa dianggap sebagai Ubermensch. Dia juga terlalu radikal dengan menyebut Ubermensch bisa ada jika manusia terlebih dulu mengadakan transvaluasi atas nilai-nilai yang ada untuk bisa mendapatkan nilainya sendiri. Dia mengabaikan aspek manusia di dalam relasinya dengan sesama. Nilai yang secara pribadi dihidupi justru bisa menjadi bencana bagi umat manusia karena tak ada sebuah peraturan yang dijalankan sebagai suatu kesepakatan. Lagipula menurut Nietzsche sifat dari kebenaran adalah jamak.

  1. 5.      Relevansi dan Penutup

Ateisme, telah kita ketahui bersama, telah mulai menjalari masyarakat hampir di semua tempat. Ateisme di sini tentu saja bukan saja ateisme secara definitif melainkan juga ateis praktis. Semakin banyak orang tak lagi “wedi-asih” kepada Tuhan. Hal ini bisa dilihat lewat kenyataan sekarang ini bahwa masyarakat mengalami degradasi moral. Pembunuhan, peperangan, aborsi, korupsi, dan kesenjangan sosial kaya-miskin menjadi tema-tema utama pemberitaan media massa.

Agama akan menjadi sasaran empuk bagi kaum anti-agama. Di masa itu, persaingan bukan lagi antar agama sendiri tetapi jauh lebih berat ketika berhadapan dengan para kritikus agama tersebut. Di wilayah yang pengaruh agamanya masih kuat seperti di Indonesia ini, kita masih bisa nyaman dengan kehidupan beragama kita. Tetapi tidak demikian jika kita berada di Eropa. Kita harus senantiasa memperbarui kualitas iman kita terutama karena kita adalah calon imam. Selain itu kita juga harus tetap terbuka terhadap kritik demi membangun iman yang lebih mendalam.

Hidup di negara dengan agama masih mendapat tempat utama seperti di Indonesia ini, seakan-akan meninabobokan kita. Kita menjadi tidak sadar bahaya yang mengintai kita. Ketaatan yang saleh terhadap agama bisa menjadi kedok bagi kurangnya sikap kritis akan iman. Tentu saja akan menjadi bumerang bagi kita. Salah satunya adalah adanya gerakan terorisme yang didasarkan pada kepercayaan fanatis mudah dijadikan alat untuk kepentingan tertentu.

Untuk kita, pemahaman yang salah akan iman kristiani menjadi sasaran kritik Nietzsche. Bukan tidak mungkin, jika kita, orang Kristen terus ditidurkan oleh setiap aturan, dogma maupun doktrin Gereja tanpa sikap kritis, akan ada Nietzsche lain yang lebih mengerikan yang akan mengritik kita. Kita harus menjadi orang beragama yang kritis yang tidak mudah digoyahkan oleh tantangan dari luar.

Lebih dari sekedar orang Kristen, kita juga calon imam. Kita dipersiapkan menjadi pemimpin Gereja di masa mendatang. Kebijakan-kebijakan dibuat sedemikian rupa untuk membentuk kita sebagai manusia yang utuh dan unggul secara rohani. Tetapi kita juga harus bertanya pada diri kita sendiri, apakah kita melakukan setiap program yang ada di seminari sebagai seorang ubermensch atau moralitas budak yang serba takut yang hidup di dalam diri kita.

Ubermensch yang dikatakan Nietzsche adalah manusia atas yang senantiasa berjuang demi suatu nilai yang terintegrasi di dalam dirinya. Pengertian ini bukan berarti kita harus menentang setiap aturan yang ada, tetapi bagaimana kita bisa menghidupi nilai-nilai yang ada di Seminari ini. Hal itu tidaklah mudah, jangan sampai kita justru terjebak pada sikap munafik. Ubermensch selalu berusaha habis-habisan untuk mengembangkan dirinya bukan hanya demi memuaskan formator tetapi demi tujuan yang lebih besar yang kita perjuangkan.

            Sebagai seorang calon imam yang sedang di dalam proses formatio, kita harus menimba ilmu dan mengolah diri secara serius. Hal ini bukan saja untuk diri kita sendiri melainkan juga untuk umat. Jika tidak demikian, kita hanya akan menjadi batu sandungan bagi umat nantinya. Kritik Nietzsche bisa menjadi masukan bagi kita dan iman kita. makalah ini akan ditutup dengan sebuah ungkapan dari Nietzsche. “membuat orang gelisah, itulah tugas saya.”[23]

 

 

 

 

Daftar Pustaka

 

Sunardi, St.,

1996, Nietzsche, LKiS Yogyakarta, Yogyakarta.

Deleuze, Gilles,

2002, Filsafat Nietzsche, Ikon Teralitera, Yogyakarta.

Budi Hardiman, F.,

2007, Filsafat Modern; dari Machiavelli sampai Nietzsche, Gramedia, Jakarta.

Neusch, Marcel,

“Friedrich Netzsche (1844-1900); Lawan Tangguh Kristiani” dalam  Damanhuri Fattah (ed.) 2004, 10 Filsuf Pemberontak Tuhan, Panta Rhei Books, Yogyakarta.

Sautet, Marc,

2001, Nietzsche untuk Pemula, Kanisius, Yogyakarta.

Akhmad Santosa,

2009, Nietzsche Sudah Mati, Kanisius, Yogyakarta.

A. Mangunhardjana,

1997, Isme-isme dalam Etika dari A sampai Z, Kanisius, yogyakarta,


[1]  A. Mangunhardjana, Isme-isme dalam Etika dari A sampai Z, Kanisius, yogyakarta, 1997, 162.

[2] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern; dari Machiavelli sampai Nietzsche, Gramedia, Jakarta, 2007, 260.

[3]  Marcel Neusch , “Friedrich Netzsche (1844-1900); Lawan Tangguh Kristiani” dalam  Damanhuri Fattah (ed.) 10 Filsuf Pemberontak Tuhan, Panta Rhei Books, Yogyakarta, 2004,  145. Mengutip dari  Friedrich Nietzsche, The Gay Science, translated by W. Kauffman (New York: Random House Vintage Books, 1974), no. 132, hal. 186.

[4]  Gilles Deleuze, Filsafat Nietzsche, Ikon Teralitera, Yogyakarta, 2002, 214.

[5]  Gilles Deleuze, Filsafat Nietzsche, 215.

[6]  Gilles Deleuze, Filsafat Nietzsche, 216.

[7]  Gilles Deleuze, Filsafat Nietzsche, 216.

[8]  F. Budi Hardiman, Filsafat Modern; dari Machiavelli sampai Nietzsche, 275.

[9]  F. Budi Hardiman, Filsafat Modern; dari Machiavelli sampai Nietzsche, 275.

[10]  F. Budi Hardiman, Filsafat Modern; dari Machiavelli sampai Nietzsche, 275.

[11]  F. Budi Hardiman, Filsafat Modern; dari Machiavelli sampai Nietzsche, 275.

[12]  F. Budi Hardiman, Filsafat Modern; dari Machiavelli sampai Nietzsche, 275.

[13]  F. Budi Hardiman, Filsafat Modern; dari Machiavelli sampai Nietzsche, 275.

[14]  F. Budi Hardiman, Filsafat Modern; dari Machiavelli sampai Nietzsche, 275.

[15]  F. Budi Hardiman, Filsafat Modern; dari Machiavelli sampai Nietzsche, 275.

[16]  F. Budi Hardiman, Filsafat Modern; dari Machiavelli sampai Nietzsche, 275.

[17]  Marcel Neusch , “Friedrich Netzsche (1844-1900); Lawan Tangguh Kristiani” dalam  Damanhuri Fattah (ed.) 10 Filsuf Pemberontak Tuhan, Panta Rhei Books, Yogyakarta, 2004,  156.

[18]  Marcel Neusch , “Friedrich Netzsche (1844-1900); Lawan Tangguh Kristiani” dalam  Damanhuri Fattah (ed.) 10 Filsuf Pemberontak Tuhan, Panta Rhei Books, Yogyakarta, 2004,  156.

[19]  Marcel Neusch , “Friedrich Netzsche (1844-1900); Lawan Tangguh Kristiani” dalam  Damanhuri Fattah (ed.) 10 Filsuf Pemberontak Tuhan, 157.

[20]  Marcel Neusch , “Friedrich Netzsche (1844-1900); Lawan Tangguh Kristiani” dalam  Damanhuri Fattah (ed.) 10 Filsuf Pemberontak Tuhan, 157.

[21]  Marcel Neusch , “Friedrich Netzsche (1844-1900); Lawan Tangguh Kristiani” dalam  Damanhuri Fattah (ed.) 10 Filsuf Pemberontak Tuhan, 157.

[22]  Marcel Neusch , “Friedrich Netzsche (1844-1900); Lawan Tangguh Kristiani” dalam  Damanhuri Fattah (ed.) 10 Filsuf Pemberontak Tuhan, 158.

[23]  St. Sunardi, Nietzsche, LKiS Yogyakarta, Yogyakarta,1996, 21.

PULANG

0

Kata ini spontan keluar ketika diminta untuk mencari kata yang berhubungan dengan perjalanan.  “pulang” adalah kata yang sederhana, ringan, dan mudah diucapkan tetapi begitu bermakna. Di balik kata pulang ada rumah, keluarga, kehangatan, cinta, kerinduan, keharuan, senyuman, dan harapan. Aku pulang, itulah kata-kata yang indah untukku.

Aku seperti anak bungsu yang ingin pulang ke rumah Bapa. Aku rindu rumah dan ingin menghapus apa yang telah kulakukan di rumah. Aku ingin kembali dan tinggal bersama dengan keluarga. Inilah gaya pertobatanku. Aku rindu rumah dan aku amat ingin pulang sebagai anak yang bertobat.

Aku pergi dengan meninggalkan masalah. Aku pergi pun bukan berarti masalah selesai. Pergi dengan membawa masalah di pundakku. Aku selalu dibayangi rasa bersalah yang besar dan bukan benci pada orangtua melainkan rasa bersalah dan membenci diriku sendiri. Aku marah pada diriku sendiri.

Aku pulang dengan dibayangi berbagai macam gambaran yang tidak mengenakan. Tetapi istimewa, dengan “diantar” pulang oleh teman-teman. Itulah kekuatan bagiku. Tadinya aku menggambarkan bahwa diriku pulang dengan segala rasa kikuk. Menghabiskan waktuku di rumah dengan rasa kikuk dan kesepian. Tetapi memang kenyataan jauh lebih indah daripada bayangan yang timbul dari benakku.

Tema liburanku adalah “pulang”. Secara reflektif, aku ingin menyampaikan makna rewind atau refresh di dalam pertobatan. Aku ingin membuat baru diriku. Walaupun sulit, tetapi setidaknya aku tidak ingin mengecewakan orangtua. Aku tidak ingin dianggap sebagai anak yang tidak tahu diri. Aku melawan apa yang menekanku di dalam pikiranku. Aku melawan diriku sendiri.

Kemarin, aku telah memulai lembaran kisah baruku di rumah. Sekalipun sulit, aku harus bisa melawan keinginanku sendiri. Mungkin tubuh lemah, tetapi jiwa masih bisa mengobarkan tubuh untuk tetap melakukan apa yang dikehendaki hati. Aku tak mempunyai teman, aku tidak banyak berbicara dengan bapak dan ibu. Tetapi aku telah menambah tabungan cintaku di dalam keluarga. Hal yang singkat, kecil tetapi langkah besar untuk sesuatu yang besar.

Tumbuhlah juga harapan niat yang baru di dalam menanggapi panggilan Tuhan di dalam semangat yang baru. Seperti lagu dari Black Sabbath, ke Banjarnegara maupun ke Seminari aku berteriak : “Mama, I’m coming home!”